Cerita Pengepul Cacing Sutera
Cerita Pengumpul Cacing Sutera |
Cerita Pengumpul Cacing Sutera - Pekerjaan sebagai petani cacing mungkin terasa aneh untuk didengar. Namun pekerjaan tersebut memang ada dan dilakukan oleh mereka, para penduduk tepi Sungai Cisadane yang memanfaatkan sungai tersebut sebagai kawasan cacing berkembang biak.
Pak Sarba yakni salah satu penduduk tepi Sungai Cisadane yang bekerja sebagai petani cacing.
Beliau dan teman-teman satu profesinya menyebut diri mereka sebagai pencari “harta karun”. Harta karun yang dimaksud yakni cacing sutra yang hidup di dasar Sungai Cisadane. Cacing sutra tidak sanggup hidup dan berkembangbiak di semua dasar sungai.
Beliau dan teman-teman satu profesinya menyebut diri mereka sebagai pencari “harta karun”. Harta karun yang dimaksud yakni cacing sutra yang hidup di dasar Sungai Cisadane. Cacing sutra tidak sanggup hidup dan berkembangbiak di semua dasar sungai.
CERITA PENGEPUL CACING SUTERA
Sungai Cisadane merupakan salah satu sungai yang menjadi kawasan berkembang biak cacing halus itu. Salah satu faktornya yakni alasannya yakni banyaknya pabrik tahu dan tempe di sekitar sungai yang membuang limbahnya ke Sungai Cisadane.
Limbah dari pabrik tahu dan tempe ini membantu perkembangbiakan cacing sutra, sehingga hal itu dimanfaatkan oleh penduduk di pinggiran sungai untuk menyambung hidupnya dengan berprofesi sebagai petani cacing.
Limbah dari pabrik tahu dan tempe ini membantu perkembangbiakan cacing sutra, sehingga hal itu dimanfaatkan oleh penduduk di pinggiran sungai untuk menyambung hidupnya dengan berprofesi sebagai petani cacing.
Ditemani dengan peralatan sederhana, ibarat jaring, galah, dayung, dan baskom yang selalu ia bawa ke atas bahtera miliknya, Pak Sarba mulai mencari harta karun itu. Beliau setiap harinya pergi mencari cacing setiap pukul 07.00 dan pukul 14.00. Namun, jikalau air sungai sedang deras dan sedikit banjir alasannya yakni hujan terus menerus, dia tidak sanggup pergi mencari cacing sutra. Jika ibarat itu, dia hanya mengandalkan sisa cacing hasil tangkapan sebelumnya untuk dijual kepada pembeli.
Dari atas perahu, Bapak berumur 54 tahun ini mulai menurunkan jaringnya hingga ke dasar sungai. Cacing sutra yang terjaring masih tercampur dengan lumpur dan sampah-sampah yang ada di dasar sungai. Untuk membersihkan lumpur dan sampah dari cacing, ia harus mengoyak-ngoyakkan jaring tersebut hingga balasannya cacing sanggup dipindahkan ke baskom yang sudah disiapkannya.
Biasanya ia berhasil mendapat cacing sebanyak dua baskom besar setiap harinya. Hasil tersebut ia dapatkan sehabis kurang lebih dua jam berada di atas perahu. Setelah berhasil mendapat cacing, pekerjaan Pak Sarba belum selesai. Pertama, ia membawa cacing hasil tangkapannya itu ke pinggir sungai untuk disimpan di dalam bidang tanah yang dialasi oleh terpal, kemudian ia harus menyiram cacing tersebt biar tidak menggumpal dan menutupnya kembali dengan terpal.
Setelah itu, kakek yang sudah mempunyai Sembilan orang cucu ini akan menunggu pelanggannya tiba dan membeli cacing hasil tangkapannya. Jika sudah ada pembeli yang datang, ia harus mencuci cacing dalam terpal tersebut terlebih dahulu hingga benar-benar higienis dan berubah warnanya menjadi merah muda.
Cacing sutra itu ia jual dengan ukuran per gayung yang dihargai Tujuh Ribu Rupiah setiap gayungnya. Para pembeli yang tiba tidak hanya dari dalam Tangerang, tetapi juga dari luar Tangerang, yaitu Cirebon, Serang, Cilegon, dan Pandeglang. Biasanya, cacing ini dipakai untuk pakan ternak ikan hias atau ikan air tawar lain. Pekerjaan sebagai petani cacing yang telah ia lakukan selama sepuluh tahun ini telah berhasil menyekolahkan ke lima anaknya. Ia berharap biar anaknya yang paling kecil sanggup bersekolah dengan baik dan mendapat pekerjaan yang lebih baik pula