Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benowo Sekar

Banawa Sekar

Setelah sebelumnya dilaksanakan sarasehan “Majapahit yakni masa depan Indonesia” di Pendopo Agung Trowulan, mulai tampak di halaman Pendopo Agung orang-orang dalam jumlah banyak, berseragam yang sama lengkap dengan peci khas Maiyah sedang bersiap-siap, berbaris menyusun deretan sebagai hidangan utama dari Banawa Sekar. Banawa Sekar sendiri merupakan “hajatan” besar Maiyah yang bertepatan dengan 27 Rajab 1435H/27 Mei 2014, yang juga menjadi puncak rangkaian dari pertemuan Jamaah Maiyah Nusantara yang di Menturo, Jombang pada satu hari sebelum Banawa Sekar diselenggarakan.
Tepat pukul 20.45 WIB, Banawa Sekar diawali penampilan  kesenian sendratari dari komunitas Mojopahitan. Yang pribadi disambung oleh Roddad Ishari (Ikatan Seni Hadrah Indonesia) yang secara khusus diminta  untuk Banawa Sekar yang membawakan beberapa nomor sholawatan, dimulai dengan Ibtida’, kemudian berurutan sholawat Bisyahri, Badatlana dan Mahalul Qiyam. Kurang lebih sekitar 1 jam Roddad Ishari menampilkan nomor-nomor sholawat tersebut dengan perpaduan rebana dan kecak tepukan tangan.
 Setelah sebelumnya dilaksanakan sarasehan  BENOWO SEKAR





Roddad Ishari yakni komunitas Sholawatan yang sudah ada semenjak tahun 1950-an tersebar di sekitar tempat Jombang dan Mojokerto. Zainul Arifin salah satu personel dari KiaiKanjeng secara khusus bertugas untuk mengkoordinir ranting-ranting Ishari ini yang berasal dari 42 desa dan 17 kecamatan, dengan jumlah total melibatkan 1.027 orang. Tari Roddad ini bagaikan gelombang lautan yang indah bergerak bersamaan bunyi tepukan kecak khas Ishari, bagaikan kicau burung yang memanggil Rasul terkasih Muhammad SAW. Tak terbendung lagi, ketika sholawat semakin membuat larut suasana, hujan deras pun turun dikirim oleh Malaikat seakan ikut megantarkan kehadiran Rasulullah SAW bersama dengan jama’ah yang hadir.
Hujan turun cukup deras ketika Roddad Ishari memuncaki penampilan mereka dengan sholawat ‘Indal Qiyam. Cak Nun pribadi secara impulsif terjun kelautan manusia, bergabung bersama teman-teman Roddad Ishari di depan panggung, ikut mencicipi hujan bersama-sama mereka. Zainul melanjutkan kemesraan bersholawat bersama ditengah hujan deras dengan melantunkan Sholawat Burdah dari atas panggung. Kebersamaan Cak Nun dengan jama’ah yang hadir ketika itu membawa nuansa isyik dan kehangatan tersendiri yang dirasakan oleh jama’ah, dalam keadaan hujan dan cuaca yang cukup dingin, jama’ah tidak mencicipi ‘kedinginan hingga program berakhir.
“Tidak ada hujan yang lebih berkah dan lebih indah, melebihi hujan yang diturunkan Malaikat pribadi ketika para pecinta Rasulullah berdiri mengumandangkan Sholawat ‘Indal Qiyam”, ucap Cak Nun sesudah naik kembali keatas panggung.
Cak Nun kemudian mengawali Maiyah Banawa Sekar dengan sebuah pesan kepada masyarakat Jawa Timur, bahwa Jawa Timur yakni tempat yang akan sangat menentukan siapa calon presiden yang akan terpilih pada pilpres 2014 kali ini. Cak Nun mengajak semua jama’ah yang hadir untuk terus memanjatkan do’a kepada Allah, supaya Allah ikut serta dalam menentukan Presiden Indonesia pada Pilpres kali ini. Cak Nun berpesan supaya jama’ah yang hadir melaksanakan Sholat Istikhoroh terlebih dahulu sebelum menentukan pilihan, sebab pilihan Allah yakni pilihan yang terbaik bagi semua manusia.

3 Macam Pertahanan Rakyat Indonesia

Majapahit memang sebuah belahan dari Indonesia, namun bukan berarti kemudian keberadaan Majapahit yakni sebuah hal yang paling penting ketika ini. Cak Nun mengajak jama’ah yang hadir untuk kembali mempelajari Majapahit lebih sebab Majapahit mempunyai sejarah yang besar, selain itu sebab kondisi Indonesia ketika ini semakin tidak jelas, Cak Nun mengibaratkan Indonesia ketika ini bagaikan pohon mangga yang berbuah jambu. Indonesia menganut sistem pemerintahan yang dimiliki oleh bangsa lain, yang bersama-sama belum bisa dikatakan berhasil di negara asalnya.
Cak Nun menjelaskan bahwa ada 3 jenis pertahanan Rakyat Indonesia. Yang pertama yakni pertahanan tradisi dan kebudayaan. Yang kedua yakni pertahanan Intelektual dan yang ketiga yakni pertahanan Politik dan Militer.
Majapahit dulu pernah mengalami masa kejayaan dimasa kepemimpinan Hayam Wuruk dengan Patih Gadjah Mada. Hayam wuruk memposisikan diri sebagai Kepala Negara dan Gadjah Mada berposisi sebagai Kepala Pemerintahan. Kepala Negara yakni orang yang memutuskan sebuah kebijakan, sedangkan Kepala Pemerintahan yakni orang yang melaksanakan kebijakan yang diputuskan oleh Kepala Negara. Indonesia ketika ini tidak mempunyai kejelasan yang pasti, siapa yang menjadi Kepala Negara dan siapa yang menjadi Kepala Pemerintahan, sebab keduanya tergabung dalam satu forum yaitu Presiden.
Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi yakni beberapa forum yang seharusnya berada dibawah naungan Kepala Negara sebab mereka yang bertugas mengawasi Pemerintahan. Namun ketika ini forum tersebut di Indonesia berada di tempat yang salah sebab tercampurnya kiprah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dalam satu lembaga, yaitu Presiden.
KiaiKanjeng bersama Mbak Novia Kolopaking kemudian berkolaborasi dengan Cak Nun membawakan sebuah nomor “Bangbang Wetan”. Kemudian Mbak Nia, Mbak Yuli dan Mbak Hijrah bersama Kiai Kanjeng membawakan nomor Sholawat Nabi dengan aransemen khas Mandar.
Cak Nun kemudian mewawancarai Agus Sunyoto terkait hal-hal yang berafiliasi dengan Majapahit. Agus Sunyoto bisa dikatakan sebagai “profesor” dari sejarah wacana Majapahit, hal ini berdasarkan atas banyaknya data wacana Majapahit yang dimiliki oleh beliau. Beliau menjelaskan sedikit wacana pasal aturan Majapahit, yaitu Kutara Manawa Dharmasastra yang terdiri dari 272 pasal dan mengatur 19 bidang, bukan hanya wacana ekonomi, namun moral dan budpekerti juga diatur dalam pasal aturan ini. Sedangkan Indonesia ketika ini masih menganut undang-undang yang dibikin oleh Belanda.
Agus Sunyoto menjelaskan bahwa tidak ada kata “kalah” dalam bahasa Kawi. Kata-kata ngalah itu bukan berasal dari kata kalah, kata depan “nga” itu berarti menuju, ngalas berarti menuju ganjal (hutan). Kalah itu ada dalam kosakata bahasa melayu. Kata ngalah itu bersama-sama yakni Ngallah yang berarti menuju Allah. Penjelasan wacana Majapahit sebelumnya sudah pernah dibahas oleh Agus Sunyoto dalam Maiyah Pati “Suluk Semalam” beberapa bulan yang lalu.
Cak Nun menjelaskan maksud dari Banawa Sekar. Banawa yakni representasi dari laut, yaitu kapal. Sedangkan Sekar yakni representasi dari darat, yaitu kembang (bunga). Dengan Banawa Sekar, maka kita membangun Indonesia dengan membangun infrastruktur darat dan maritim sekaligus. Hal ini berdasarkan keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau yang dipisahkan oleh maritim dan kemudian memungkinkan pemanfaatan banyaknya sumber daya alam yang bisa dihasilkan oleh Indonesia seandainya pembangunan infrastruktur darat dan maritim ini dilakukan dengan benar. Banawa Sekar ini yakni konsep yang dimiliki oleh Majapahit.
Agus Sunyoto melanjutkan bercerita sedikit wacana kekuatan angkatan maritim kerajaan Majapahit yang pada zamannya menjadi angkatan maritim yang disegani oleh bangsa lain. Bangsa Majapahit juga sudah mempunyai kalender yang sudah dimunculkan sekitar 1 kurun sebelum kalender Masehi muncul.
KiaiKanjeng bersama Cak Nun membawakan nomor “Hasbunallah” untuk mengiringi teman-teman Roddad Ishari untuk beristirahat. Sabrang yang turut hadir diminta untuk mendampingi Cak Nun untuk membawakan sebuah nomor Letto yang berjudul “Sebelum Cahaya” diiringi oleh KiaiKanjeng.
“Perang berdasarkan saya yang perlu dilakukan kini yakni perang terhadap ketidaktahuanmu bahwa dirimu masih dalam penjara. Dan penjaranya yakni ukuran-ukuran dalam fikiranmu yang bukan berasal dari dirimu sendiri”, pemaparan Sabrang.
KiaiKanjeng kemudian membawakan nomor Sholawat Nabi dengan aransemen gres yang juga menampilkan vokal Pak Nevi Budianto.
Syeikh Nursamad Kamba yang turut hadir dalam Banawa Sekar ini memaparkan pesan dari guru dia di Mesir dahulu, bahwa ada 2 indikator yang bisa mengukur apakah suatu bangsa itu dalam keadaan ancaman atau tidak, yaitu: tradisi Sholawatan dan dikumandangkannya Adzan. Apabila 2 indikator tersebut masih ditemui dalam sebuah bangsa, maka keadaan bangsa itu masih dalam keadaan baik-baik saja. Karena didalam sholawat itu sendiri mempunyai fungsi keselamatan kepada siapapun saja yang mengucapkannya. Sehingga kemudian bisa dikatakan Indonesia masih baik-baik saja sebab tradisi sholawatan masih terjaga di seluruh penjuru tanah air.
Dalam sebuah hadits sahih Rasulullah SAW bersabda: man sholla ‘alaiyya marroh shollallahu ‘alaihi ‘asroh. Barang siapa bersholawat kepadaku (Rasulullah) sebanyak satu kali, maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali. Jika sholawat dari kita kepada Nabi Muhammad SAW yakni do’a, maka tanggapan sholawat dari Allah kepada kita merupakan keselamatan. Namun Syeikh Nursamad Kamba menekankan supaya kita tidak usah melaksanakan perhitungan dengan Allah SWT terkait tanggapan sholawat yang kita ucapkan setiap harinya.
Tradisi terbangan dan sholawatanyang masih dilakukan teman-teman Roddad Ishari ini menggambarkan betapa dahsyatnya dan hebatnya para pendahulu kita yang bisa membuat gagasan suatu tradisi, yaitu terbangan dan sholawatan ini. Suatu tradisi sudah niscaya mengalami akulturasi dan internalisasi dalam proses kemunculannya, dengan bertahannya suatu tradisi berarti menggambarkan bahwa tradisi tersebut mempunyai fondasi yang besar lengan berkuasa yang sudah dibangun oleh para pendahulunya.

Konsep “Ihdinasshiroto-l-mustaqiim”

Cak Nun menjelaskan wacana konsep Makkiyah dan Madaniyah. Dalam Al Qur’an kita mengenal terminologi Ayat Makkiyah dab Madaniyah. Ayat-ayat Makkiyah yakni ayat-ayat yang mengajarkan kepada kita wacana aqidah, tauhid, fiqh dsb yang merupakan dasar-dasar keimanan dalam Islam. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah yakni ayat-ayat yang menjelaskan kekerabatan sesama manusia, perdagangan, silaturrahmi dsb yang merupakan pemanis kehidupan insan di dunia. Saat ini, seharusnya kita sudah berkonsentrasi pada aplikasi ayat-ayat Madaniyah namun kita disibukkan untuk tetap bertengkar dalam urusan Makkiyah. Sehingga ketika ini kita tertinggal jauh dalam aplikasi Madaniyah dalam kehidupan kita kini ini sebab kita masih banyak berkutat dalam permasalahan yang berafiliasi dengan Makkiyah.
Dalam Islam kita selalu mengucapkan kalimat Ihdinasshiroto-l-mustaqiim pada setiap sholat kita. Hal ini bukan berarti kita berada di jalan yang tidak benar. Kiai Muzammil yang juga hadir dalam program ini menjelaskan ayat ini menjelaskan bahwa dalam Islam tidak hanya mengajarkan wacana kebenaran, namun juga kebaikan.  “Ayat ini yang juga belahan dari do’a kita setiap harinya bukan kemudian menyatakan bahwa kita berada di jalan yang salah, namun lebih sebab supaya insan tidak merasa selalu berada di jalan yang benar, melainkan supaya kita selalu ingat bahwa kita yakni insan yang tidak tepat yang setiap hari bisa saja berlaku khilaf”. Makara orang benar, tetapi merasa menjadi orang baik, itu tidak benar.
Cak Nun menambahkan, dalam bulan mulia kita menjalani ibadah puasa selama 30 hari, setiap hari kita menjalani puasa, berganti hari kita tetap berpuasa, disinilah makna supaya kita tetap istiqomah dalam berpuasa. Kita mengucapkan ihdinasshiroto-l-mustaqiim agar kita tidak lengah, supaya kita terus selalu berada di jalan yang lurus (benar). Sehingga kalimat ihdinasshiroto-l-mustaqiim yakni cara kita supaya bisa istiqomah berpuasa selama satu bulan lamanya. Cak Nun menambahkan, bahwa ayat ini yakni salah satu ayat kemesraan Allah dengan hambanya.
KiaiKanjeng kemudian membawakan nomor medley “Sholawat Burdah dan LOVE” yang merupakan duet kerja sama Zainul dengan Mbak Novia Kolopaking. Kemudian nomor “Ya Nabii Salam Alaika” yang dinyanyikan oleh Yuli dan Nia dilanjutkan dengan “Everything I do” yang diaransemen ulang dengan irama khas jawa oleh KiaiKanjeng dengan duet vokal Imam Fatawi dengan Mbak Novia Kolopaking.
Sabrang kembali diminta oleh Cak Nun untuk menjelaskan tangguhnya bangsa Sparta. Bangsa yang populer dengan ideologi militer. Menerapkan standar yang tinggi dalam kualitas fisik, bila lahir dalam keadaan cacat, maka segera dibunuh ketika gres lahir. Sejak kecil mereka dilepas  di hutan, bila ia berhasil kembali dari hutan maka ia dinyatakan tangguh. Proses ini kemudian melahirkan prajurit-prajurit yang tidak hanya besar lengan berkuasa secara fisik, namun juga tangguh secara mental.
Cak Nun melengkapi, “apabila anda melaksanakan pertandingan tinju, kuncinya satu; jangan hingga anda terseret kedalam permainan lawan anda, bila anda terbawa dalam permainan lawan, maka anda akan kalah.” itulah yang dilakukan oleh bangsa Sparta dalam sebuah peperangan. Cak Nun menambahkan. “Kita harus membuat tata nilai sendiri yang berbeda dengan musuh kita.”
Cak Nun menawarkan simulasi, bahwa perang badar dimana 300 pasukan Rasulullah berhasil mengalahkan 3000 pasukan adonan orang-orang kafir. Pasukan Rasulullah membuat ruang perangnya sendiri di lembah Badar dan memaksa pasukan lawan untuk masuk kedalam ruang yang sudah disusun sedemikian rupa oleh Rasulullah SAW ketika itu. Sehingga, pasukan kafir mengalami kekalahan sebab mereka terjebak dalam denah peperangan yang diatur oleh lawan mereka.
Begitu juga dalam politik di Indonesia, Cak Nun melaksanakan hal yang sama. Bahwa Cak Nun menentukan untuk tidak terbawa arus yang ada di peta pertarungan politik Indonesia ketika ini. Bukan berarti kemudian kita menghindar dari Indonesia, namun kita membikin area pertempuran sendiri dan memaksa lawan kita untuk masuk dalam area pertempuran yang kita bangun. Terkait PILPRES, Cak Nun menggambarkan bahwa ternyata kita tidak menentukan sendiri calon presiden, tetapi kita menentukan calon yang sudah dipilihkan oleh partai. Ibaratnya masakan dalam sebuah pasar, kita hanya disajikan 2 jenis masakan dari ribuan jenis masakan yang tersedia didalam pasar tersebut. Kita ditutup peluangnya untuk menentukan masakan yang lain, sebab setiap kita tiba ke sebuah warung, hanya 2 jenis masakan itu saja yang ditawarkan kepada kita.
Cak Nun berpesan kepada Jama’ah Maiyah supaya tidak berangan-angan untuk mengalahkan siapapun. Cak Nun kembali bercerita wacana Garuda, bahwa pada usia ke-40 Garuda akan terbang menuju lembah yang tinggi, disana ia mematuk-matuk paruhnya ke kerikil hingga lepas, dan juga mencakar-cakarkan kukunya ke kerikil supaya terlepas dari kakinya. Jika ia berhasil melepaskan paruh dan kukunya, kemudian ia berhasil bertahan hidup maka akan lahir paruh dan kuku gres yang lebih besar lengan berkuasa dari sebelumnya.
Mbak Novia Kolopaking kemudian mengajak jama’ah yang hadir untuk merenung sejenak wacana Indonesia dengan membawakan lagu “Sepinya Hati Garuda” diiringi KiaiKanjeng. Dilanjutkan dengan nomor Sholawat Nariyah.
“Setelah ini jangan menomorsatukan keinginanmu apa, tapi yang nomor satu yakni ingat Allah dan memohon kepada Allah untuk yang terbaik bagimu dan untuk bangsa ini,” pesan Cak Nun kepada jama’ah sebelum menutup Banawa Sekar dengan Sholawat ‘Indal Qiyam.
Banawa Sekar kemudian dipuncaki do’a bersama yang diimpin oleh Syeikh Nursamad Kamba. [Red KC/Fahmi Agustian]